CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG SINTAL

CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG SINTAL


CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG SINTAL, Hasrat-Bispak39 Seluruh orang didalamnya perlu bertarung dan berkorban supaya tidak tergusur, dan tidak seluruhnya jalan yang dapat dilewati itu terang-benderang…Izinkan saya bercerita kejadian hidup saya. Nama saya Darmini, tetapi orang tidak banyak yang mengenali nama asli saya. Bapak dan Simbok panggil saya Denok, itu panggilan biasa buat anak wanita di daerah saya, tetapi maknanya tidak sekedar itu. Denok pun mempunyai arti montok alias sintal, dan ternyata makna itu yang lebih dikenang beberapa orang di kehidupan saya di Ibu-kota. Zaman kecil saya dihabiskan di daerah, jauh dari Ibu-kota. Saya anak satu-satunya Bapak dan Simbok, satu keluarga petani penggarap yang gak berpunya. Semenjak kecil saya diajari menari oleh Simbok, lantaran beliau sendiri waktu muda merupakan orang penari, serta seringkali ditanggap kalaupun ada acara di daerah. Sayang, kehidupan kami yang damai di daerah berhenti sewaktu satu hari saya dan Simbok temui Bapak menggantung diri. Rupanya Bapak punyai banyak hutang dikarenakan edan judi, dan beliau tak sanggup membayar hutangnya itu. Kami terang bersusah-hati karena Bapak sudah tak ada, tetapi juga kebingungan lantaran beberapa waktu selesai Bapak disemayamkan, kami ditendang dari rumah sebab rumah kami diambil alih biro judi yang berikan hutang ke Bapak. Kami gak miliki daerah tujuan, dan uang simpanan kami tidak berapa. Simbok pada akhirnya ngotot ajak saya berpindah ke Ibu-kota cari penghidupan. WAJIB 4D


"Denok, kita nggak dapat apapun kembali di sini, di kota kita dapat mencoba mencari uang, moga-moga dari sana mendingan ketimbang di sini," kata Simbok.


Saya cuman alumnus SMP, Simbok alumnus SD. Kami sama gak sadar hidup di Ibu-kota demikian beratnya. Melamar pekerjaan ke sana-kemari, gak diterima sebab dirasa pengajaran kurang tinggi. Mencari kerja yang gak perlu ijazah, rival sangat banyak. Pada akhirnya seusai lumayan lama mengamati pelbagai peluang yang ada, Simbok memastikan untuk manfaatkan keterampilan kami. Hanya modal baju serta perabotan yang kami membawa dari daerah, dan radio tape sisa serta kaset-kaset musik tradisionil yang kami membeli dari pasar loak dengan tersisa uang, awalilah kami berdua jadi penari jalanan.


Waktu gadis-gadis seumur saya yang di kota tengah persiapan ujian akhir SMA atau menjalankan tahun awal kuliah, serta yang di kampung tunggu dijodohkan oleh orangtuanya, saya memulai menjalani kehidupan anyar, menawarkan ketrampilan seni tari bersama Simbok. Mulanya kami berkeliling-keliling Ibu-kota, sekedar cari keramaian di mana kami dapat peroleh beberapa lembar rupiah buat melanjutkan hidup. Kami biasa mulai pagi-pagi, mendalami jalanan Ibu-kota buat cari beberapa orang yang pengin kami hibur dengan tarian kami. Rupanya gak mudah  cari uang dengan sesuai ini, paling-paling yang kami peroleh cukup untuk makan kami berdua, satu atau 2x di hari itu. Dan gak di semua tempat kami dapat memperoleh pirsawan yang siap bayar, kadangkala kami jadi ditendang atau dihardik. Sesudah cukuplah lama, kami berjumpa tempat di mana kami dapat terus bisa pirsawan serta uang: satu pasar induk yang lumayan besar, dan lingkungan disekitarnya. Kami juga sewa satu kamar kontrak murah di dekat Pasar. Banyak orang-orang di Pasar, dari golongan menengah ke bawah, haus selingan murah yang dapat membikin mereka ingat daerah semasing. Datangnya kami dari sana terus disongsong senyuman, tawa, dan helai-lembar uang yang kumal hasil perasan keringat mereka. Kendati pun seringkali helai-lembar itu diserahkan kepada kami oleh kurang santun semisalnya dengan disembunyikan ke kemeja kami. Apa saya dan Simbok memanglah memikat? Entahlah ya. Saya sendiri tak terasa elok. Menjadi anak petani yang kerap main di luar sejak mulai kecil, kulit saya jadi rada gelap terbakar matahari. Namun Simbok  sejak dahulu terus mengarahkan dan memperingatkan saya untuk menjaga badan kendati secara simpel, jadi kendati sawo masak, kulit saya selalu mulus dan tak jerawatan ditambah lagi bopeng-bopeng lho.


Oh iya, barusan kan saya telah narasi makna nama panggilan saya, Denok. Dipertimbangkan betul pun sich jika di katakan saya montok. Gak tahu mengapa, kendati rasanya dari kecil makanan saya bergizi ngepas, kok tetap juga tubuh saya bisa-bisa ya. Saat sebelum remaja saja tetek saya telah tumbuh, dan saat ini jadi subur gumebyur hingga saya terus khawatir dengan kemben saya setiap kali menari. Pantat saya pun cepat karena sebab dibikin latihan olah badan dalam tarian. Ada yang katakan bahenol, saya sich matur nuwun saja kalaupun ada yang kira demikian. Terheran-herannya, meskipun atas bawah besar, tengahnya tak turut besar, perut serta pinggang saya masih singset. Saya menganggapnya masih singset masalahnya sepertinya kelak tubuh saya akan menjadi seperti tubuh Simbok, tengahnya mulai ikut-ikutan lebar. Nach, jika Simbok itu benar-benar elok. Hingga sampai usia begitu juga beliau selalu elok. cerpensex.com Manalagi jika sudah gunakan sanggul dan dandan, wuihh. Seluruhnya orang nengok dan tidak saksikan apapun kembali. Saya sendiri selalu berasa buruk lho kalaupun tampil bersama Simbok. Ah, tetapi sedunia sekedar saya sendiri yang nganggap muka saya tidak baik. Disamping Simbok, beberapa orang yang umum tonton kami menari kok seluruhnya katakan saya elok. Saya pikirkan, ini sich pinter-pinternya Simbok merias saya saja. Waktu kali pertama didandani buat ngamen, saya protes, kok sibuk benar-benar. Rambut harus disasak, disanggul, disunggar, gunakan tusuk serta kembang. Muka harus dibedaki tebal-tebal, hingga sampai lain warna dengan tubuh. Kemungkinan tinggal tahi lalat di pipi saya saja yang gak ketutupan. Alis saya yang telah tebal dibuat jadi tebal. Bibir  diberi gincu warna merah oke. Saya kala itu ngeluh,


"Kok telah seperti penganten saja, Mbok."


Simbok menjawab, "Yang bernama penari itu tidak bisa biasa saja, nduk. Perlu kinclong, manglingi. Kita perlu membikin suka yang tonton."


Lama-kelamaan saya biasa pun pakai dandanan begitu, justru saya bikin jadi guyonan sama Simbok.


"Mbok, saya wis tiap hari kejadian penganten, bentar jika nikah betulan perlu seperti apakah diriasnya?" Dandan muka yang tebal jadi sisi seragam kerja saya, sesuai sama kemben, kain batik, serta selendang. 


Tetapi memang yang bernama nasib itu jalannya gak ada yang mengetahui. 2 bulan kami bertempat di dekat Pasar, tragedi hadir kembali. Waktu lagi nyebrang jalan, Simbok ketabrak mobil. Cidera kritis. Saya kuatir, beberapa orang di seputar beramai-ramai ngangkut Simbok ke rumah sakit. Namun Simbok gak terselamatkan. Simbok mati di rumah sakit selesai 2 hari dua malam usaha ditolong dokter dari sana. Sesungguhnya mulai sejak ketabrak pun Simbok sudah tak ada keinginan, tetapi tidak tahu mengapa beliau lama sekali kematiannya. Sekaratnya sampai sepanjang hari. Sampai gak sampai hati saya menyaksikannya. Kala itu ada yang bisik-bisik, kemungkinan Simbok pasang susuk, karena itu wafatnya sulit. Orang kok sampai hati ya bicara sesuai itu. Namun apa itu betul atau gak, saya tak ingin tahu, biarkanlah itu menjadi rahasia Simbok. Saya selanjutnya sendirian di Ibu-kota, seperginya Simbok. Ditambahkan lagi, uang habis untuk mbayar rumah sakit dan penguburan, malahan harus berutang kemanapun. Saya tidak dapat melangsungkan acara beberapa macam buat Simbok, cuman dapat doakan sendiri mudah-mudahan roh Simbok dapat tenang di alam sana dan bertemu kembali dengan Bapak. 1 minggu lebih saya di sewaan saja sebab terlampau bersedih. Kemungkinan tiap hari saya menangis, sendu ingat Simbok,  kesepian. Pada akhirnya saya memaksakan diri buat keluar kembali, ngamen kembali, lantaran uang udah habis dan saya  harus lawan beberapa tukang tagih hutang yang tak ingin tahu kesukaran saya . Maka, satu minggu selepas Simbok dikebumikan, saya kembali persiapan buat keluar, menari. Dihadapan cermin saya tata rambut saya sendiri, saya pasang sanggul serta kembang, saya bedaki muka saya agar tidak tampak beberapa bekas menangis, saya gunakan kembali kemben serta kain, saya sampirkan selendang di leher. Ealah, serasi keluar kamar saya malahan bertemu dengan ibu yang punyai kontrak. Sang ibu tidak gunakan basa-basi langsung tagih tunggakan dua bulan. Saya gak miliki uang, jadi saya sekedar dapat katakan maaf, serta sang ibu malahan ngancam secara lembut. Gak apapun tidak bayar, tukasnya, tetapi esok kamu keluar tempat saya. Haduh biyung, kok gak habis-habis ya rintangan untuk saya. Saya ingin upaya dahulu, kata saya, kelak bakal saya bayar. Hari itu saya pergi ngamen, usaha mencari uang buat hidup.

CERITA DEWASA SANG PENARI JALANAN YANG SINTAL

Apesnya, hari itu pasar cukup sepi, serta selepas dua jam saya baru bisa Rp5000 selepas menari di pangkalan ojek. Saya tidak dapat fokus, kepala banyak ingatan, bagaimana langkahnya agar kelak bila pulang sudah memiliki cukup uang buat bayar sewa. Belum beberapa hutang yang lain. Saat siang, saya sedang jalan di barisan toko toko besar dari sisi Pasar. Dan di muka toko beras terbesar di Pasar, saya memandang Juragan sedang hitung segepok uang. Beliau baru-baru ini terima banyak uang, ternyata ada orang yang habis mborong. Saya masa itu cuman mengenal beliau menjadi ‘Juragan'. Beliau pemilik toko beras yang besar itu. Beliau telah tua, lebih tua dibanding Simbok, barangkali umurnya telah 50 atau 60 tahun. Kepalanya nyaris botak, rambutnya tipis beruban, kumis dan jenggotnya jarang. Tubuhnya besar dan perutnya gemuk. Sekali 2x saya dan Simbok pernah menari di muka tokonya, dan pegawai-pegawainya memberikan kami uang namun beliau tak. Tetapi beliau pernah pinjamkan uang pada Simbok, dan Simbok sempat mengembalikannya. Saya beranikan diri mendatangi Juragan. Ia sendirian di muka toko, sementara anak buahnya repot di serta ada di belakang. Tokonya lagi sepi, tidak ada konsumen. WAJIB 4D


"Juragan," pinta saya. "Anu… saya…"


Juragan lihat saya dengan acuh. "Ada apakah, Denok?"


"…saya… saya…" Duh, saya gak kuat bilangnya. Tetapi saya harus katakan. "…saya bisa pinjam uang, Juragan? Uang saya udah habis untuk ongkos penguburan Simbok… saat ini saya harus bayar sewaan dua bulan…"


"Hah?" Juragan menyaksikan saya dengan aneh, "Kamu penting uang?"


"Tolong, Juragan," saya memohon kembali, "Saya telah ditagih, ini hari mesti ada, atau saya ditendang. Saya janji dapat balikkan selekas mungkin."


Eh, kok Juragan langsung menyimpan segepok uang barusan ia hitung-hitung.


"Denok," kata beliau dengan dingin, "Saya ini pedagang, bukan tukang beri hutang. Kamu perlu uang? Kerja sana. Atau kamu berjualan saja."


"Saya saat ini pun kembali kerja, Juragan," saya dongkol tetapi tak berani menunjukkan; nampaknya Juragan tak ingin pinjamkan uang. "Cuman seramnya saya tak dapat dapat uang ini hari untuk membayar sewaan. Jika berjualan, saya tidak punyai apapun, harus jual apa?"


Namun lalu tatapan Juragan kok berganti jadi aneh… Beliau dekati saya dan merengkuh saya. Tangannya yang besar itu menggenggam pundak saya.


"Siapa ngomong kamu gak mempunyai apapun?" bisiknya. "Tubuh kamu bagus, Denok. Saya pengin kok mbayar buat itu." Beliau tarik badan saya merapat ke tubuhnya, sampai pipi saya menempel dari sisi dadanya yang gendut.


"Ihh?!" saya terkejut dengar bisikan Juragan itu. Duh, inikah yang bernama bisikan iblis? "Tubuh… saya?" Bisikan Juragan terus terngiang di kepala saya. Bergidik bulu-bulu kuduk saya memikirkan apa tujuannya itu.


"Jika kamu pengen, Denok, saya lunasi bill kontrakanmu yang 2 bulan itu sekaligus mbayar buat bulan kedepan," bisik Juragan kembali.


Duh, biyung, saya perlu bagaimana? Saya perlu uang, namun apa perlu melalui cara sebagai berikut? Tetapi jika gak, bagaimana kembali? Yang ada saya dapat ditendang, nggelandang, dan…ujung-ujungnya sama juga. Saya gak miliki alternatif lain…


"…mau, Juragan…" saya berbisik, lirih sekali hingga sampai gak terdengaran. Bila saja gak ketutupan bedak, kemungkinan udah terlihat muka saya beralih merah seperti cabai.


Juragan tertawa, tubuhnya yang gemuk itu hingga terbuncang-guncang. "Bagus, Denok. Mari turut saya. Kamu ikutin saja kataku, kelak kubayar kamu, ya?"


Lantai atas toko beras itu rumah Juragan. Juragan bawa saya naik tangga dari sisi toko, masuk ke tempat tinggalnya. Juragan nyatanya tinggal sendirian. Saya ingin tahu, apa Juragan gak punyai istri? Kami masuk rumah Juragan. Saya lagi menyaksikani lantai, tak berani membawa kepala, namun adakalanya saya ngintip ke sana-kemari lihat kondisi.


Juragan ternyata tinggal sendirian di atas tokonya. Ada poto tua yang tunjukkan Juragan dengan seseorang wanita—istrinya kah? Juragan merengkuh tangan saya masuk ke satu kamar. Ruangan tidurnya. Ia suruh saya duduk di dipan. Saya duduk, sekalian tundukkan kepala. Juragan berdiri di muka saya, mencermati sekujur badan saya. Ia sentuh dagu saya, sembari ngomong,


"Denok, angkat kepalamu, saksikan saya." Saya nurut. Kemungkinan ia tonton mata saya ketakutan 1/2 mati.


"Membuka kembenmu," ujarnya.


Ia simpan selembar uang Rp50.000 dari sisi saya. Saya melihat, memandang uang itu. Besar sekali untuk saya. Umumnya sepanjang hari menari saya tak pernah mendapat uang sekitar itu. Tetapi saya masih ragu-ragu. Juragan mendadak pengen ambil kembali uang itu.


"Kalaupun tak mau ya telah," tukasnya dengan suara kurang suka.


Tetapi saya tahan uang itu dengan tangan saya, lalu saya ngangguk. Haduh, Simbok, Bapak, maafkan saya. Saya terlepas ikatan kemben di punggung saya, lalu perlahan-lahan saya urai belitan kain kemben merah yang membebat tubuh saya. Cocok tinggal selembar belitan yang tutup tetek saya, saya jadi malu, serta saya tahan selembar itu dengan lengan saya. Juragan tersenyum lihat saya.


"Wahh…susu kamu besar, ya? Membikin orang gairah ajah…" saya saksikan Juragan nyengir lebar selesai bicara itu. sumpah, anyar ini kali ada laki laki jujur ngaku begitu.


Helai uang lima puluh ribu barusan ditempatkan Juragan di sisi saya ia mengambil, lipat, lalu ia berikan ke… aduh! Ia berikan ke belahan dada saya!


"Itu untuk kamu, Denok," tukasnya. Duh, tidak yakin rasanya. Awal mulanya saya dan Simbok perlu menari sepanjang hari, hingga pegal-pegal, buat memperoleh uang kurang dari 5 puluh ribu. Tapi… saat ini saya mendapat uang sejumlah itu … kok mudah sekali?


"Betulan buat saya…?" Masih tak yakin, saya bertanya kembali.


"Iya… asal kamu membuka segalanya," kata Juragan sekalian menyeringai. "Tubuh kamu bagus, Denok. Montok… bahenol…"


Duh, apa tujuannya itu? Apa Juragan senang dengan badan saya? Seumur-umur belum sempat ada orang yang ngomong itu ke saya… Jantung saya deg-degan dengarnya. Juragan menarik kain kemben yang ditahan tangan saya, dan kainnya melaju demikian saja tanpa ada saya tahan. Saya masih tutupi gunung kembar saya dengan ke-2  tangan. Aduh… malu sekali rasanya, telanjang di muka orang lain…Tapi saya bisa memperoleh uang…


"Nach, Denok, saat ini membuka kainnya, ya?" saat ini Juragan mohon saya membuka pun kain batik coklat yang saya gunakan.


Karena kemungkinan barusan saya malu dan pelan satu waktu membuka kemben, Juragan dekati saya serta mengungkap kain batik saya. Saya seketika mundur, tetapi tangan Juragan lalu menggenggam bahu saya.


"Gak boleh takut, Denok…" ujarnya.


Juragan pula menggenggam paha saya masih beberapa tertutup kain batik. Ia remas sedikit paha saya. Nada "Eihh" keluar mulut saya, malu sebab sentuhan Juragan. Tangannya lalu nyelip ke bawah kain saya! Kulit tangan Juragan bersinggungan dengan kulit paha saya, serta saya kian deg-degan. Ia terus remas-remas paha saya. Saya nggigit bibir, takut keluar nada beberapa macam dari mulut saya. Tangan satunya lagi nyibak kain saya, hingga ke dekat pinggang… Duh, biyung, lagi diapakan saya ini? Kain saya tinggal nyangkut di pinggang saja, sementara ke-2  kaki, betis, dengkul, sampai paha saya udah dikeluarkan dari balutnya, sedikit kembali kancut saya terlihat!


"Tiduran saja, Denok!" suruh Juragan.


Saya nuruti perintahnya, perlahan-lahan saya rebahkan tubuh atas saya. Ke-2  tangan saya terus nutupi sepasang tetek saya. Sanggul yang masih belum saya lepas (apa mestinya saya lepas pula?) ngganjal belakang kepala saya. Dan sembari saya rebah itu, tangan Juragan berlaga sangkutan paling akhir kain saya di pinggang. Aduhhh biyung. Ke-2  tangan saya buat pekerjaan: satu membujur di muka dada, satu turun ke bawah nutupi kancut saya.


Saya ragu, namun gak tahu mengapa, saya pun kok merasa hasrat saya bangun? Aduh? Kok berikut ini jadi? Juragan terus menerus lihat sekujur badan saya, sekalian memberikan pujian.


"Marilah donk, gak perlu tertutupin," kata Juragan. "Tanganmu disingkirin donk? Denok, kalaupun kamu pengin kupegang, kutambah dua puluh ribu, ya…


Ke-2  tangan saya digenggam Juragan, lalu perlahan-lahan ditempatkan dari sisi tubuh saya. Duh, bubar dech pertahanan saya. Saat ini susu saya tidak ada yang tutupi. Saat ini kancut saya tampak.


"Euh… Juragan… pengen pegang?" kata saya kebingungan. "Ja… jadi saat ini tujuh puluh ribu?"




BERSAMBUNG....

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama